Kebijakan Pemerintah melalui
Kementerian Perdagangan RI tentang pengaturan Harga Eceran Tertinggi (HET)
untuk komoditi Gula Pasir, Minyak Goreng dan Daging Beku hingga kini masih
menyisakan pertanyaan di kalangan peritel di Bali.
Hal ini disebabkan karena Peritel
harus jual rugi terutama untuk jenis Gula Pasir branded yang dalam ketentuan
wajib dijual dengan harga maksimum Rp. 12.500,- dan Minyak Goreng kemasan
sederhana Rp. 11.000,-.
Monitoring di Hardys Supermarket Panjer Bersama CEO & COO Hardys |
Menurut Ketua APRINDO BALI, pihaknya
bersama pengurus lain yakni; Bapak Ichwan Eko (Wakil Ketua Bidang Perdagangan),
AA Ngurah Agung Agra Putra (Wakil Ketua Bidang Organisasi), I Made Abdi Negara
(Sekretaris DPD APRINDO BALI), dan IB. Werdhi Budaya (Bendahara) langsung
mengadakan monitoring internal ke 6 Supermarket dan Minimarket untuk melihat
secara langsung sekaligus mendapatkan masukan prihal implementasi kebijakan di
lapangan pada Kamis (13/4) kemarin. "Rata-rata peritel belum mampu mengimplementasikan
secara penuh kebijakan ini" ungkapnya.
Pasalnya, Peritel di Bali masih
kesulitan mendapatkan pasokan harga wajar dari Distributor sehingga untuk
komoditas Gula Pasir dan Minyak Goreng, bahkan dijual rugi oleh peritel.
Selain Gusti, Agra Putra dan Made
Abdi juga mengamini hal serupa. Kondisi ini sangat berat, mengingat kebijakan
yang dikhususkan untuk mengendalikan Inflasi jelang lebaran ini akan
diberlakukan hingga September 2017. " Jadi artinya peritel selama masih
belum menemukan distributor yang mau memberikan harga pokok yang wajar, maka
akan terus menanggung kerugian" jelasnya.
Hal ini sangat kontradiktif dengan
keinginan pemerintah melalui Presiden Jokowi yang berupaya mendorong iklim
investasi yang baik dan berkesinambungan. "Jangan sampai peritel akhirnya
mengambil jalan pintas dengan cara mengosongkan komoditas tersebut di rak, kami
tidak mau anggota kami sampai melakukan hal seperti itu" ujar Agung.
Disisi lain, Made Abdi memaparkan
kondisi yang dialami peritel terutama peritel lokal dengan buying power yang
tentu tidak sekuat peritel jaringan nasional saat ini seperti makan buah
simalakama. "Jika diikuti maka pasti kami mengalami kerugian, sedangkan
jika tidak diikuti kami diancam dengan denda hingga Rp. 25 Milyar dan tindakan
tegas, padahal kebijakan ini belum mampu mempertemukan kepentingan dari hilir
ke hulu terutama Distributor dengan kami peritel"paparnya.
Monitoring di Hypermart MGB Simpang Siur |
Ditegaskan Abdi, pihaknya sebenarnya
menyambut baik kebijakan ini, karena sangat diperlukan oleh masyarakat namun
tentu saja harus tetap memperhatikan keberlangsungan usaha. "Niat yang
baik, jangan sampai menciptakan masalah baru di lapangan"cetusnya.
Secara sederhana, berbagai kalangan
mungkin menganggap masalah ini sepele dan tidak berdampak dengan omzet, namun
dengan Customer Behaviour yang berkembang saat ini bisa berdampak fatal bahkan
peritel yang beda sendiri tidak mampu menerapkan akan ditinggal oleh Pelanggan
dengan daya tarik harga 3 komoditas ini. Ujung-ujungnya yang dirugikan tentu
adalah peritel lokal dan kecil yang tidak memiliki buying power dan modal
kuat.
Dijelaskan Abdi, hasil monitoring
ini akan dirangkum menjadi sebuah kesepakatan bersama dan akan segera di
koordinasikan ke induk asosiasi di pusat serta Kementerian Perdagangan RI.
"kami juga akan segera berkoordinasi dengan Perwakilan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) untuk melindungi peritel dan konsumen berkaitan
kebijakan ini"pungkasnya.
Monitoring dilaksanakan antara lain
di Hardys Supermarket Panjer, Hypermart MBG Simpang Dewa Ruci, Carrefour Sunset
Road, Nirmala Supermarket, Alfamart dan Indomaret.(TIM HUMAS APRINDO BALI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar