Midlle Income Trap akhir-akhir ini kembali menjadi topik bahasan hangat di kalangan penggiat ekonomi dan bisnis di Indonesia.
Bukan karena negara lain sedang sibuk-sibuknya mengembangkan seluruh kemampuan untuk menguasai teknologi digital dan membangun sumber-sumber bisnis baru di mana-mana, tapi lebih dari itu isu ini kembali hangat karena kita, Indonesia masih masuk menjadi penghuni klasemen bawah negara-negara berpenghasilan rendah (walaupun bukan negara miskin lagi).
Middle Income Trap muncul dari klasifikasi berdasarkan teori yang membagi pendapatan per-kapita negara negara di dunia menjadi 4 tingkatan yaitu ; negara miskin, negara dengan pendapatan menengah batas bawah, negara dengan pendapatan menengah batas atas dan terakhir adalah negara kaya.
Gambar adalah ilustrasi permainan megoak-goakan di Keramas Aero Park |
Indonesia sendiri dengan jumlah pendapatan rata-rata perkapita sebesar $3500 per tahun, masuk ke klasifikasi negara dengan pendapatan menengah batas bawah. Satu level lebih tinggi dari negara miskin.
Hal yang menggembirakan adalah perkembangan Indonesia dewasa ini yang terus bertumbuh menjadi pioner dalam berbagai upaya untuk mengembangkan diri. Dalam Pertemuan Tahunan IMF-World Bank yang diselenggarakan di Nusa Dua - Bali kemarin, Direktur IMF secara tegas menyatakan bahwa Indonesia saat ini bukanlah negara yang perlu dibantu oleh IMF.
Bandingkan dengan periode 10 tahun lalu yang mengharuskan Indonesia untuk menjadi salah satu penetek IMF untuk bisa lolos dari jeratan krisis berkepanjangan.
Pembangunan infrastruktur sebagai upaya untuk menghubungkan berbagai wilayah sehingga mempermudah akses mobilisasi manusia dan distribusi ekonomi di percaya akan mampu mendorong aktivitas ekonomi dan bisnis lebih kuat. Bahkan, hal ini di masa depan dianggap akan menjadi indikator utama dalam mencapai cita-cita bangsa.
Namun, sisi itu menjadi tidak menarik jika kita menyandingkan dengan lambatnya pembangunan sumber daya manusia yang mandiri upaya mendorong mental dan kreatifitas generasi muda menjadi hal yang mendesak, karena sehebat apapun perkembangan negara, jika tidak bisa dimanfaatkan oleh bangsa kita sendiri, tentu itu akan menjadi mubazir. Bangsa kita akan tetap menjadi obyek, bangsa
konsumen yang menjadi target pasar bagi negara-negara produsen seperti China, Jepang, Amerika dan Eropa.
Di era digital saat ini, kreatifitas dan pemanfaatan teknologi secara tepat akan mampu mendorong percepatan pengembangan kualitas generasi muda. Untuk lepas dari level negara Middle Income, setidaknya perlu 5-10 tahun upaya bersama yang datang dari visi pemerintah, fokus program dan spirit anak-anak mudanya untuk terus mengembangkan diri dan punya daya saing.
Orientasi masyarakat untuk menemukan dan mengembangkan sumber daya menjadi peluang usaha, harus terus di pupuk dan di dorong. Pemerintah harus punya grand design program untuk itu.
Indikator-indikator pengganggu semisal Narkoba, Investasi Bodong, Judi, Korupsi, Premanisme saat ini sudah mulai terus diberangus. Ini adalah faktor-faktor pengganggu yang bisa menjebak generasi emas Indonesia kedalam jeratan kehancuran, mimpi sia-sia dan pesimisme untuk bisa bersaing
di kancah kompetisi global.
Satu hal yang paling penting, adalah bagaimana kemudian kita sebagai generasi muda tidak "mager" tidak malas gerak dan pasrah.Tekun, mau belajar dan terus berusaha adalah filosofi kuno yang akan terus relevan jika kita berkeinginan maju.
Lebih baik kita bekerja daripada mendengarkan ocehan orang atau pesimisme dari lingkungan. Toh, jika kemudian kita telah membuktikan kemampuan kita
maka orang akan terinspirasi bahkan bisa jadi ikut menjadi agent of change bagi kemajuan bangsa. Ingat, kehebatan dan kemajuan bangsa, berawal dari kehebatan dan
kemajuan masing-masing individu yang menjadi bagian dari bangsa itu sendiri.
Salam Network!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar